Jumat, 19 Maret 2010

Alergi Makanan Berbuntut Autisme

Alergi makanan disebut sebagai salah satu faktor pencetus autisme pada anak. Namun, banyak orangtua yang tak mengetahui hal ini. Mereka baru ngeh setelah anak tumbuh besar dan telanjur sulit ditangani. Kalau saja kesadaran akan bahaya alergi makanan itu datang sejak dini, penderitaan anak dapat jauh dikurangi.


Alergi makanan merupakan kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh, yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan tertentu. Pada anak-anak, alergi makanan dapat menyerang semua organ tanpa kecuali, mulai dari ujung dahi sampai ujung jempol kaki. Bahaya dan komplikasi yang muncul pun beragam. Reaksi atas alergi makanan (biasa disebut manifestasi klinis) berpotensi mengganggu semua sistem dan organ tubuh.
Keluhan alergi sering muncul dengan sangat misterius. Jadwalnya berubah-ubah, datang dan pergi tanpa permisi. Kadang berulang. Minggu ini sakit tenggorokan, minggu depan mungkin saja sakit kepala, pekan depannya kena diare, atau sulit makan berminggu-minggu lamanya. Bagaimana keluhan yang berubah-ubah secara misterius itu terjadi? Entahlah, karena sampai saat ini masih menjadi misteri bagi para peneliti alergi.

Yang banyak disepakati, alergi dianggap sebagai proses inflamasi yang tidak hanya berupa reaksi (cepat atau lambat), tetapi juga bersifat kronis dan kompleks. Gejala klinisnya terjadi karena reaksi imunologi dalam tubuh, yang muncul untuk menangkis serangan terhadap organ sasaran. Menurut teori ini, jika organ sasarannya paru-paru, maka manifestasi klinisnya berupa batuk atau asma. Bila sasarannya kulit, ya akan terlihat seperti urtikaria (rasa gatal pada kulit yang disertai bentol-bentol merah).

Menyerang pusat saraf

Celakanya, tak hanya paru-paru atau kulit yang kerap jadi sasaran tembak. Sistem susunan saraf pusat atau otak pun dapat terganggu oleh reaksi alergi. Apalagi otak merupakan organ tubuh yang sangat sensitif dan lemah. Jika fungsi otak terganggu, banyak sekali kemungkinan manifestasi klinisnya, termasuk gangguan perkembangan dan perilaku, semisal gangguan konsentrasi, gangguan perkembangan motorik, gangguan emosi, keterlambatan bicara, hiperaktif, hingga autisme.

Austisme sendiri diyakini para peneliti sebagai kelainan anatomis pada otak. Secara ilmiah telah dibuktikan, autisme merupakan penyakit yang disebabkan oleh banyak hal atau multifaktor. Selain karena alergi makanan, ada ahli yang menyebut autisme timbul karena gangguan biokimia. Sementara ahli lain menyebutnya sebagai gangguan jiwa, akibat masuknya unsur logam berat dan bahan-bahan berbahaya ke dalam tubuh.

Namun, apa pun penyebabnya, autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif pada anak, yang ditandai dengan gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial. Bagaimana alergi makanan sampai mengganggu fungsi otak, sehingga menyebabkan autisme, pun masih menjadi misteri buat para ahli. Dari sana muncul beberapa teori yang mungkin bisa menjelaskan hal tersebut.

Selain teori gangguan organ sasaran seperti yang dijelaskan di muka, ada juga teori pengaruh metabolisme sulfat, teori gangguan perut dan otak, serta teori pengaruh reaksi hormonal. Gangguan metabolisme sulfat mempengaruhi, otak, jika ada bahan makanan yang mengandung sulfur masuk ke dalam tubuh. Bahan makanan itu – melalui proses konjugasi fenol – kemudian diubah menjadi sulfat yang kelak dibuang melalui urine.

Namun, proses itu bisa tidak berjalan mulus pada orang tertentu. Pada penderita alergi yang memiliki gangguan saluran cerna, akan terjadi gangguan pada proses metabolisme sulfur tersebut. Akibatnya, pengeluaran sulfat melalui urine menjadi tidak lancar, sekaligus mengubah sulfur menjadi sulfit. Sulfit inilah yang mengakibatkan gangguan pada kulit. Bersama beberapa zat toksin, sulfit juga mengganggu fungsi otak.

Toh, lepas dari peran zat kimia beracun yang tidak sempat dibuang tubuh (sulfit dan kawan-kawan), saluran cerna sendiri memang rentan terhadap gangguan alergi. Teori gangguan pencernaan dan kaitannya dengan sistem saraf pusat itu, kini sedang menjadi perhatian utama para ahli alergi. Karena dipercaya dapat mendekati fakta, bagaimana alergi pada akhirnya muncul menjadi gangguan perilaku, termasuk autisme.

Sementara teori keterkaitan hormon dengan peristiwa alergi dilaporkan oleh cukup banyak peneliti. Perubahan hormonal dapat menyebabkan gangguan pada fungsi otak dan perilaku. Penderita alergi biasanya mengalami penurunan hormon, seperti kortisol dan metabolik. Sebaliknya, hormon progesteron dan adrenalin cenderung meningkat ketika proses alergi itu timbul. Perubahan hormonal itu menyebabkan seseorang gampang lelah, mudah marah, cemas, panik, sakit kepala, sakit kepala sebelah, kerontokan rambut, dan banyak lagi.

Teori-teori yang menjelaskan hubungan antara alergi dengan gangguan susunan saraf pusat dan fungsi otak tadi, setidaknya memperkuat dugaan bahwa alergi – termasuk alergi makanan – memang punya peran dalam mencetuskan atau memperbesar autisme. Lantas, bagaimana mengetahui dan melakukan pencegahan dini, agar alergi makanan tak sampai menjerumuskan anak-anak ke jurang austisme?

Pintar di kelas

Sebelumnya, orangtua perlu mengetahui, makanan atau minuman apa saja yang berpotensi mengundang alergi. Makanan dan minuman itu di antaranya daging ayam, daging itik, ikan salmon/tuna, alkohol, daging domba, daging kalkun, jeruk, pisang, pir, anggur, jagung, gula, ubi, singkong, asparagus, selada, kembang kol, bayam, brokoli, teh, kopi, dan minyak zaitun. Penyebab alergi ini bersifat individual, sangat berbeda dari anak yang satu ke anak lainnya. Si Andri misalnya, alergi terhadap daging ayam, tapi si Benny belum tentu.

Selain makanan-makanan di atas, ada juga beberapa bahan yang dapat menggangu otak, yang terdapat pada makanan atau minuman. Misalnya, salisilat (mudah ditemukan pada buah, kacang, kopi, teh, bir, anggur, dan obat-obatan sejenis aspirin). Juga amino (diproduksi selama fermentasi dan pemecahan protein, ditemukan dalam keju, cokelat, anggur, tempe, serta sayur dan buah seperti pisang, alpukat, dan tomat), Atau benzoat (ditemukan dalam beberapa buah, sayur, kacang, anggur, kopi).

Penyebab alergi bisa juga datang dari bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan dan pemrosesan makanan. Contohnya aditif makanan berupa bahan pengawet, bahan pewarna, pemutih, enzim, bahan pelapis atau pengilat, pengatur pH, bahan pemisah, ragi makanan, pelarut untuk ekstraksi, dan bahan pemanis. Atau bahan tambahan semisal rempah-rempah buatan, kemasan makanan, obatan-obatan, serta bahan kimia pertanian yang sering digunakan saat membuat makanan atau minuman.

Orangtua juga perlu memahami macam-macam gejala dan gangguan alergi yang muncul pada anak. Misalnya, gerakan motorik berlebihan pada anak berusia di bawah enam bulan (mata dan kepala bayi sering menengok ke atas, tangan dan kaki bergerak berlebihan). Sedangkan untuk bayi usia di atas enam bulan, bila digendong sering minta turun dan sering membentur-benturkan kepala, bergulung-gulung dan menjatuhkan diri di kasur, serta suka memanjat.

Atau sebaliknya, anak mengalami gangguan perkembangan motorik, sehingga tidak bisa bolak balik, duduk, dan merangkak sesuai usianya. Jika berjalan sering terjatuh dan terburu-buru, sering menabrak dan jalan jinjit, serta gemar duduk pada posisi huruf “W” (posisi kaki ke belakang). Sampai umur di bawah 15 bulan, anak belum juga bisa berkata-kata, bahkan pada usia 20 bulan hanya sanggup mengucapkan 4 – 5 kata.

Gangguan tidur juga bisa menjadi pertanda. Misalnya anak suka tidur dalam posisi menungging, suka berbicara, tertawa, berteriak saat tidur, sulit tidur, sering terbangun malam, gelisah saat memulai tidur, gigi gemeretak, serta tidur mengorok. Bisa juga sangat agresif ketika tidak tidur, seperti gemar memukul kepala sendiri dan orang-orang di sekitarnya.

Anak yang mengalami alergi makanan sering juga mengalami gangguan konsentrasi. Cepat bosan dalam beraktivitas (kecuali saat menonton televisi, membaca komik, dan main game), tidak bisa belajar lama, selalu terburu-buru, tidak mau antre, tidak teliti, serta sering kehilangan barang. Nilai pelajaran di sekolah naik-turun secara drastis. Nilai pelajaran tertentu baik, tapi pelajaran lain buruk. Anak pun sulit mengerjakan pekerjaan sekolah dengan baik, plus sering mengganggu teman saat pelajaran berlangsung.

Celakanya, anak dengan gangguan perilaku itu sekilas tampak seperti anak cerdas dan pintar!

Terserah orangtua

Pengetahuan tentang makanan dan minuman pemicu alergi, berikut gangguan perilaku yang ditimbulkannya, penting diketahui orangtua. Namun setelah itu, lebih penting lagi mengetahui secara pasti, makanan atau minuman jenis apa yang menjadi pemicu alergi anak. Tak gampang memang karena menyimpulkan anak mengalami alergi terhadap makanan tertentu tidak dapat diputuskan hanya dengan melakukan tes kulit atau tes alergi lainnya. Pemeriksaan-pemeriksaan itu memiliki sejumlah keterbatasan.

Diagnosis pasti adanya alergi makanan baru dapat dipastikan setelah dilakukan uji alergi dengan menggunakan metode yang biasa disebut Double Blind Placebo Control Food Challenge (DBPCFC), dengan cara mengeliminasi provokasi makanan penyebab alergi pada anak. Pendiagnosisan cara ini harus dilakukan oleh ahlinya, dengan bantuan orangtua si anak tentunya.

Jika pemicu alergi telah diketahui, penanganan terbaik untuk anak hanyalah dengan menghindari makanan atau minuman itu. Pemberian obat-obatan antialergi dalam jangka panjang tidak dianjurkan karena merupakan bukti kegagalan dalam mengidentifikasi penyebab alergi. Dengan mengenali secara cermat gejala alergi dan mengidentifikasi secara tepat penyebabnya, alergi dan gangguan autisme dapat dikurangi.

Itu sebabnya, sangat penting melakukan deteksi dini terhadap gejala alergi dan gangguan perkembangan dan perilaku anak. Bila jauh-jauh hari diketahui, pengaruh alergi terhadap fungsi otak yang berujung pada autisme dapat dicegah, atau paling tidak diminimalkan. Meskipun tidak bisa hilang sepenuhnya, alergi makanan biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia dua tahun, imaturitas saluran cerna akan membaik, sehingga gangguan saluran cerna karena alergi makanan ikut berkurang.

Bila gangguan cerna membaik, logikanya gangguan perilaku pun akan berkurang. Selanjutnya, pada usia di atas 5 – 7 tahun, alergi makanan terus berkurang secara bertahap, sehingga gangguan autisme ikut berkurang secara bertahap. Meskipun alergi makanan tertentu biasanya akan menetap sampai dewasa, seperti alergi terhadap udang, kepiting, atau kacang tanah.

Sebaliknya, jika orangtua tak mengenali gangguan alergi itu sejak dini alias ketelanjuran, penanganannya harus dilakukan secara holistik, melibatkan beragam disiplin ilmu, seperti bidang alergi anak, neurologi anak, psikiater anak, tumbuh kembang anak, endokrinologi anak, dan gastroenterologi anak. Jelas, jauh lebih merepotkan dan tentu saja, lebih banyak makan biaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar