Jumat, 19 Maret 2010

Kunci Keberhasilan Penyembuhan Autisime

AUTISME masa kanak sebenarnya bukan penyakit baru di dunia. Penyakit ini, yang lebih tepat disebut gangguan perkembangan pervasif, sudah ditemukan sejak 1943. Hanya saja belum banyak masyarakat awam, bahkan dokter, yang mengetahuinya karena orangtua atau dokter mengira anak hanya mengalami keterlambatan perkembangan (terutama berbicara) sementara saja. Anggapan itu tentu saja membuat autisme yang diderita anak semakin parah. Literatur menyatakan, 75 persen anak autisme yang tidak tertangani, akhirnya menjadi tunagrahita. Saat ini jumlah penyandang autisme terus meningkat. Diperkirakan, jumlah penyandang autisme 15 - 20 per 10.000,- kelahiran . Jadi dari kelahiran 4,6 juta bayi tiap tahun di Indonesia, 9.200 dari mereka mungkin menyandang autisme.

Autisme infantil atau autisme masa kanak adalah gangguan perkembangan yang muncul pertama kali pada anak-anak berusia enam bulan hingga tiga tahun. Seorang anak autistik tidak mampu mengadakan interaksi sosial, dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Ciri yang sangat menonjol dari penderita autisme adalah tidak adanya atau sangat kurangnya kontak mata dengan orang lain. Penyandang autisme bersikap acuh tak acuh bila diajak bicara atau bergurau. la seakan-akan menolak semua usaha interaksi dari orang lain, termasuk dari ibunya. la lebih suka dibiarkan main sendiri dan melakukan sebuah perbuatan yang tidak lazirn secara berulang - ulang. Sebagian kecil penyandang autisme berhasil berkembang normal, namun sebelum mencapai umur tiga tahun perkembangannya terhenti, kemudian timbul kemunduran dan mulai tampak gejala-gejala autisme. Hingga kini belum diketahui secara pasti penyebab gangguan autisme. Eric Courchesne dari Universitas California San Diego menemukan, sebagian besar penyandang autisme mempunyai otak kecil yang lebih kecil dibandingkan ukuran normal (hipoplasia cerebellum). Pengecilan otak kecil ini terjadi pada masa janin. Selain berfungsi sebagai pengatur keseimbangan, otak kecil juga berperan dalam proses sensorik, berpikir, daya ingat, belajar bahasa, dan juga perhatian (konsentrasi). Hasil otopsi penyandang autisme yang dilakukan para ahli menunjukkan adanya keganjilan pada sistem limbic (pusat emosi di otak), dan kurangnya jumlah sel pada lobus parietalis di otak. Akibarnya, terjadi kekacauan sistem di otak.

Penanganan Austisme
Menurut phisikiater anak-baik yang tergabung dalam Yayasan Autisme Indonesia yang berkedudukan di Jakarta maupun ahli psikiater anak di RSUD dr. Soetomo Surabaya-autisme dapat dikurangi kelemahannya. "Walaupun tidak bisa disembuhkan 100 persen, tetapi penyandang autisme dapat dilatih melalui terapi, sehingga ia bisa tumbuh normal seperti anak sehat lainnya," kata Dr. Rudy Sutadi, Wakil Ketua Yayasan Autisma Indonesia. Bila sudah mendapatkan terapi penyandang autisme dapat bersekolah di sekolah biasa. Bahkan, menurut Rudy, ada penyandang autisme di Amerika yang bisa meraih gelar Ph.D. Di Indonesia penyandang autisme sudah ada yang bersekolah di SMU biasa. Walau mereka telah diterapi sehingga bisa bersekolah di sekolah umum, kadangkala ciri autismenya masih muncul, seperti mengoleksi benda yang tak lazirn, atau agak pendiam. Menurut para psikiater, kunci keberhasilan penyembuhan autisme adalah orangtua dan terapi tata laksana perilaku. Dyah Puspita, seorang ibu yang mempunyai putra tunggal penyandang autisme juga mengakui bahwa keberhasilan proses penyembuhan autisme sangat bergantung pada orangtua dan terapi tata laksana perilaku. "Tidak cukup dan tidak akan berhasil bila kita hanya bergantung pada ahli terapi saja.
Orangtua juga harus terjun. Kalau bisa 24 jam sehari. Kalau ahli terapi waktunya sangat terbatas. Anak harus dilatih terus- menerus. Kedengarannya keji. Tetapi, ya harus begitu itu," kata Dyah membagi pengalamannya. Apa saja terapinya? Terapi yang dijalani anak harus terdiri dari terapi medikamentosa (pemberian obat), terapi wicara, terapi okupasi (motorik), terapi perilaku, dan pendidikan khusus (satu guru satu murid). Menurut Dyah, metode terapi yang paling efektif untuk anak autisme adalah terapi dengan metode Lovaas. Metode Lovaas ini pula yang menuntut ikut sertanya orangtua dalam melatih anak. Keikutsertaan orangtua menangani anak dapat menjalin ikatan batin yang kuat antara si anak dengan orangtua. Bila sudah ada ikatan batin anak akan semakin mudah mempelajari sesuatu.

Dyah mengakui, semula ia tidak begitu percaya pada metode Lovaas. la beranggapan bahwa metode ini sangat rumit, mahal, anak hanya menjalankan perintah (seperti robot), dan perlakuan terhadap anak serupa dengan melatih lumba-lumba. Narnun ketika ia mempraktikkan metode ini dalam waktu 10 menit putranya dapat menguasai tiga keterampilan baru (mengacungkan jempol, menunjuk, melipat koran). Metode Lovaas diperkenalkan pertama kali oleh lvar Lovaas Ph.D. Inti dari metode Lovaas ini sebenarnya bersumber pada modifikasi perilaku (behavior modification) dan operant conditioning. Metode Lovaas ini hams diajarkan dengan disiplin, konsisten, dan rutin. Idealnya metode Lovaas diberikan pada anak usia 2-5 tahun, dengan latihan sekurangnya 40 jam seminggu. Prinsip dasar metode Lovaas adalah mengurangi perilaku yang buruk atau berlebihan dengan cara memberikan feedback negatif (bisa dengan kata "tidak", raut wajah kecewa, gelengan kepala, dll). Sementara terhadap perilaku yang baik diberikan feedback positif, seperti kata "bagus", hadiah, tepuk tangan, peluk cium, atau kata pujian lain. Pada akhirnya perilaku yang baik akan menggantikan perbendaharaan perilaku yang kurang pantas. Tata laksana perilaku menurut metode Lovaas adalah orangtua atau terapis memberikan instruksi kepada anak. Bila anak langsung bisa mengerjakan instruksi itu dia diberi imbalan. Jika tidak, ulangi kembali instruksi itu. Bila sampai tiga kali anak masib belum bisa juga, orangtua/terapis harus memberikan bantuan. Misalnya, mengarahkan wajahnya bila dipanggil. Begitu terus diulangi hingga anak mengerti bila dipanggil dia harus melihat yang memanggil.


Tata laksana perilaku mempunyai teknik memecah perilaku atau aktivitas yang kompleks menjadi bagian yang kecil-kecil. Bagian yang kecil-kecil ini diajarkan sendiri-sendiri secara sistematik, terstruktur, dan terukur. Untuk instruksi kompleks seperti, "Ambilkan baju cokelat di atas meja, lalu lipat dengan baik, dan simpan di lemari," tentu tidak mungkin dikerjakan anak. Apalagi bila ia belum menguasai konsep "ambil", "lipat", dan "simpan". Selain itu, anak belum mengetahui konsep baju atau warna. Para orangtua dan terapis harus meng~jarkan satu per satu pengetahuan itu, lalu digabungkan dalam rangkaian kecil-kecil. Selanjutnya rangkaian-rangkaian kecil ini digabungkan menjadi satu kesatuan yang kompleks. Cara pengajarannya antara orangtua dan terapis harus sama. Ini untuk membantu anak lebih mudah mempelajarinya. Pengajaran aktivitas baru dimulai dengan system satu guru satu murid dalam satu ruangan yang bebas distraksi (pengalib perhatian). Pengajaran dilakukan berulang-ulang sampai anak berespons sendiri tanpa bantuan {frompi). Baik di rumah maupun di tempat terapi orangtua/terapis harus pula menyediakan gambar- gambar atau alat bantu lain yang memudahkan anak belajar. Seperti untuk mengenalkan buah jeruk, orangtua harus menyediakan buah jeruk dan gambar jeruk. Ini juga membantu anak mengenal benda dengan dimensi yang berbeda.




Secara bertahap anak dibawa ke kelompok kecil, lalu ke kelompok besar. Anak dicoba dimasukkan ke sekolah umum. Di kelas mulanya anak didampingi oleh orang tua/terapis {shadow), yang tugasnya menjembatani instruksi dari guru ke anak, dan juga membantu respons anak. Shadow mula-mula lekat dengan anak, secara bertahap jarak semakin diperbesar bersamaan dengan semakin kurangnya intensitas dan frekuensi prompt. Setiap hari orangtua harus melakukan evaluasi terhadap apa yang telah dicapai anak, sampai detail terkecil. Target perilaku yang bisa dicapai anak harus ditetapkan secara realistis dan sesuai dengan kemampuan anak. Jangan menargetkan terlalu tinggi, karena akhirnya akan membuat anak frustrasi dan kecil hati. Bila anak berhasil melakukan sesuatu tentu orangtua dan terapis akan semakin termotivasi mengajarkan sesuatu yang lebih baru lagi. Anak pun menjadi lebih senang beraktivitas, dan otomatis perilaku yang aneh semakin berkurang, meski belum sepenuhnya menghilang. Selamat mencoba!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar